Tuesday 28 August 2012

Orang Jepang Naik Haji


“Subarashi! Subarashi!” atau “Luar Biasa!”, adalah kata yang berulangkali
diucapkan oleh Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami. Kalimat itu
diucapkannya saat melihat Ka’bah dan melakukan gerakan memutarinya selama
tujuh kali (thawaf). Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang
ikut berangkat haji tahun ini dari rombongan jamaah haji embarkasi Jepang.

Bagi Omar-san, yang baru memeluk Islam sekitar 3 tahun lalu, ini adalah
kali pertamanya ia naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masifnya
jumlah jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang pada saat
bersamaan dan melakukan ritual haji yang sama. Omar-san, yang tidak mau
memberitahukan pada saya nama asli Jepangnya, menganggap ada satu kekuatan
besar yang mampu membawa berjuta-juta orang tersebut secara sukarela untuk
datang ke tanah suci ini. Hal itulah yang membuatnya terpana di depan
Ka’bah.

Berangkat haji bersama orang Jepang adalah hal yang menarik bagi saya.
Bagaimana tidak, selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang
yang beragama Islam (ataupun beragama lainnya, seperti Kristen atau
Yahudi). Kebanyakan orang Jepang memang tidak memilih satu agama tertentu.
Mereka kebanyakan menganut ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya
ketimbang sebuah agama.

Di sisi praktis sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku
lebih dari orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun,
disiplin, dan tertib dalam bermasyarakat. Semua ajaran agama yang
menganjurkan kebaikan dan perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa
harus memeluk suatu agama tertentu. Hal itu bisa dilihat secara nyata dalam
kehidupan masyarakat Jepang. Mereka tertib mengantri, berlalu lintas dengan
santun, menjaga fasilitas umum tetap rapi dan bersih, membuang sampah di
tempatnya, dan saling membantu dengan tulus.

Kisah-kisah pascatsunami dan bencana gempa bumi pada Maret 2011 lalu
menjadi sekian banyak contoh tentang tingginya adab dan perilaku masyarakat
Jepang. Di negeri yang beragama sekalipun, saat bencana, perilaku yang
muncul kadang tidak agamis (menumpuk barang kebutuhan pokok, menjarah,
menaikkan harga semena mena, dan saling merugikan sesama). Hal itu tidak
terjadi di Jepang saat bencana tsunami lalu. Gambar di bawah ini adalah gambaran antrian saat bencana tsunami.



Agama, memang datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku
manusia. Sayapun bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah
baik, masih perlukah orang Jepang memeluk agama.

Menurutnya, Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif
dari ajaran agama. Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuhkan tambatan
hati. Sebuah oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun
duka. Sebuah tautan kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan
dunia. Tanpa agama, berbagai pelarian dicari oleh orang Jepang untuk
mencari ketenangan hati. Jadi, menurut Omar san, orang Jepang masih
memerlukan agama.

Hal itulah yang melatarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia
mengatakan bahwa setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan
kedamaian jiwa. Meski demikian, banyak orang yang bertanya padanya,
tidakkah sulit menjadi Islam di Jepang.

Permasalahan bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada masalah
ideologi, namun lebih pada urusan praktikalitas ritual. Menjalankan ibadah
sholat sebanyak lima kali sehari, puasa selama sebulan, dan melaksanakan
ibadah haji, adalah aktivitas yang sangat sulit dilakukan dalam lingkungan
orang Jepang. Bangsa Jepang adalah pekerja keras. Kalau kita bekerja di
perusahaan Jepang misalnya, sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada
waktunya, apalagi cuti melakukan ibadah haji. Nyaris mustahil untuk
dikabulkan. Belum lagi soal pilihan makanan halal yang amat jarang
didapatkan di Jepang.

Namun berbeda dengan dunia barat yang memiliki *prejudice* tentang Islam,
di Jepang pandangan masyarakat tentang Islam secara umum tidak seburuk di
barat. Bagi orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran
setiap agama adalah mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih
gampang diterima banyak orang Jepang.

Omar-san sendiri beruntung. Ia adalah Presiden Direktur (Sachoo) sebuah
perusahaan konstruksi yang dimilikinya sendiri. Perusahaannya tergolong
besar di daerah Kasugai, Aichi-Ken, di sekitar kota Nagoya. Jadi, ia bisa
mengatur masalah praktikalitas ritual agama, termasuk saat ia memutuskan
naik haji bersama istrinya, yang juga orang Jepang.

Selain Omar-san, ada dua orang Jepang lainnya yang sering berdiskusi dengan
saya saat ibadah haji kemarin. Kebetulan saya tinggal satu tenda dengan
mereka, saat di Mina maupun saat wukuf di Arafah. Mereka adalah Saif
Takehito dan Muhammad Syarief. Keduanya telah mengganti atau mencampur nama
asli Jepangnya dengan nama Islam.

Saif Takehito adalah seorang diplomat Jepang yang bekerja di Kedutaan Besar
Jepang di Dubai. Ia jago berbahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya
saja sampai minder mendengar ia membaca Qur’an). Sementara Muhammad Syarief
adalah seorang wirausaha yang tinggal di Tokyo .

Karakter dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun tersebut,
tercermin saat mereka menjalankan ibadah haji. Dalam kondisi apapun, mereka
tetap diam dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana alam bulan
Maret lalu.

Tekanan terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari
kedatangan di Arab, prosesi ibadah, kehidupan sehari-hari, hingga kembali
ke Jepang, ujian kesabaran datang silih berganti. Banyak dari kita yang
kadang lepas kontrol, lalu marah-marah dan malah beradu mulut dengan jamaah
lain. Tapi saya melihat para jamaah haji dari jepang memiliki kesabaran
yang tinggi. Padahal mereka dihadapkan pada kondisi yang bertolak belakang
dengan keadaan negaranya yang tertib dan teratur.

Suatu malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab (kelompok tenda) kami.
Saat kembali dari melempar jumrah, tenda rombongan kami dipindahkan
pengelola maktab tanpa sepengetahuan kita semua. Akibatnya, barang-barang
kami semua tercecer, bahkan ada yang kehilangan peralatan-peralatan
personalnya.

Beberapa jamaah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan
panitia karena tidak menjaga barangnya. Ada yang menuding-nuding panitia,
bahkan sampai ingin menuntut ganti rugi. Salah satu jamaah malah hampir
beradu mulut dengan saya, karena ia menganggap saya tidak memberi lokasi
tempat tidur untuknya. Masya Allah!

Mereka sampai harus ditenangkan oleh kita semua yang ada di tenda, “Sabar
haji… Sabar.. Istighfaar.. This is Hajj”. Barulah kemudian mereka
mengucapkan istighfar dan meminta maaf pada kita semua karena menimbulkan
kekacauan di tenda.

Sementara itu saya melihat Muhammad Syarief kehilangan *sleeping bag*-nya
malam itu. Ia hanya celingak celinguk saat banyak jamaah protes. Tapi ia
diam saja tanpa protes dan tidak mengeluh. Padahal kakinya bengkak karena
melepuh saat berjalan di Mekah sebelumnya. Ia malah menggelar handuk dan
tidur langsung di karpet dalam diam.Simpati jamaah di tenda kami pun
diarahkan pada dirinya. Kamipun meminjamkannya sleeping bag, memberinya
obat dan makanan, serta menawarkan lokasi tidur yang nyaman. Semua jamaah
simpati pada kesantunan orang Jepang ini.

Hal serupa saya perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam kita harus
menunggu di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu ada kecelakaan
bis sehingga semua jalan menuju Muzdalifah ditutup. Akibatnya, bis
rombongan kita tertunda keberangkatannya ke Muzdalifah. Banyak jamaah di
kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka merasa harus tiba di
Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan sholat dua rakaat, sesuai
sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan bahwa dalam kondisi darurat,
sholat bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi banyak jamaah yang tidak terima,
perdebatan pun terjadi bahkan cenderung memanas.

Saif Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil
berulangkali melafazkan nama-nama Allah (berdzikir). Saat saya tanya
bagaimana pendapatnya, Saif berkata banyak hal yang terjadi di luar
kehendak manusia, kita sebagai manusia tak bisa berbuat apa. Semua kehendak
Allah. Jadi janganlah kita saling berbantahan, kita harus bersabar dan
ikuti perintah pimpinan kita. Masya Allah, kita semuapun jadi malu oleh
ucapan dari orang Jepang yang notabene baru memeluk Islam tersebut.

Meski orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan
negerinya, mereka ternyata bisa memahami dan tetap bersikap sabar. Mereka
tidak mengeluh dan menyalahkan keadaan. Hal tersebut memberi saya sebuah
kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan semata soal pengetahuan. Akhlak dan
perilaku baik, terbentuk bukan saja dari pengetahuan, tapi lebih pada
kebiasaaan.



Orang Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan dididik berbuat baik, sabar,
dan memerhatikan kepentingan orang lain. Di sekolah, di rumah, di
masyarakat, ajaran dan yang dilihat sama. Sementara banyak orang beragama
yang hanya diajarkan dan diminta menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.
Itulah sebabnya dulu Nabi senantiasa berkata, “Biasakanlah berbuat baik,
biasakanlah berbuat baik…” Bukan menghafal perbuatan baik, tapi membiasakan
berbuat baik. Tentu tujuannya agar kita menjadi orang baik, yang
sebaik-baiknya.


Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/11/20/orang-jepang-naik-haji/m



0 comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...